Author: Ummul Khairi
•Saturday, April 23, 2011


Serupa tangga yang berliku, aku menaiki tiap terjalnya. Memahatnya, menghaluskannya bukan perkara mudah. Tapi kau diatas sana adalah sebuah pembeda. Tau apa yang kau jalani dan kenapa harus bertahan. Bukan memenangkan pualam sanjungan dunia dengan segala rupa-rupa.

Seperti tak layak, kau tak diperhitungkan. Dianggap gila. Maka yang keluar dari cercauan mereka adalah sampah! Lihat, kau dikata sampah.

Kalau ada yang mencari oase, mungkin seorang tua dengan punggung melengkung masuk tanpa izin. Sedang pintu terbuka untuk segelas air. Jika seorang tua menanya mana utara, telunjukmu bicara, ikuti saja arakan ufuk senja. Bangau merah muda pulang dengan kawanannya.

Jika ada orang derma memberi sekerat roti kembang, maka langkahmu gegas mencari tisu. Orang derma pulang membawa tanya. Lalu, pintumu masih terbuka pada anak-anak beringus meminta jatah roti mentega.

Dibawah bukit. Ada surau-surau bergaung merdu. Corong-corong menyaring merdu. Corong-corong kenal Tuhan. Corong-corong tak bantah Tuan.

Ada satu hal jika ada dua hal yang selalu mereka lupa. Mereka duduk di atas pagar karatan di tengah jalan. Sebentar lagi pukul 6 petang. Dari bukit terlihat bola-bola besar seperti lampion. Satu persatu nyala. Satu persatu balok-balok bermesin pulang. Kota pun tenang.

Pagar ilalang setinggi badan mulai menguning. Tak ada yang berani menyabit. Itulah kenapa mataku mencuri pandang sedikit.

Rumah diatas bukit. Kau diam. Kau tak angkuh. Katamu, inilah aku.

Katamu, aku berdiri bukan karena berpijak, tapi karena pijakan. Mereka hanya melihat apa yang terjadi, bukan melihat keadaan sebenarnya. Aku diam bukan berarti tak mampu bicara. Aku berjalan lurus, bukan berarti tak pernah berbelok. Aku merdeka bukan berarti tak punya aturan.

Rumah diatas bukit, lihat sore jingga benar! Di depanmu laut tergelar.

Aku pasti kembali. Untuk melihat perempuan kecil bermain gasing berputar. Walau, kantung plastik harus penuh dengan jagung bakar.

Dan, hey..Meski di bukit, saban kesana kulihat rambut-rambut selurus lidi bermata cipit tapi setiap pulang aku membawa hal baru.

Mataku memunggumimu tanpa gugu karena kau semanis madu.

This entry was posted on Saturday, April 23, 2011 and is filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

8 comments:

On April 24, 2011 at 12:31 PM , BLACKBOX said...

rumahyang nyaman

 
On April 26, 2011 at 1:46 AM , Anonymous said...

saat berada di atas bukit, apalagi di kampung jackie chan ini, serasa indah dengan semua pemandangan yg ada :)

 
On April 28, 2011 at 5:08 PM , Ummul Khairi said...

@blackbox: ya, nyaman sekali disana :D

 
On April 28, 2011 at 5:08 PM , Ummul Khairi said...

@aulia: ah..tau saja aulia, ini memang perumahan jacki chen :D

 
On April 30, 2011 at 12:17 PM , NIT NOT said...

perumahanny dimna ntu...

 
On April 30, 2011 at 12:34 PM , Ummul Khairi said...

@nit not: perumahan jacki chan itu di daerah neuhen, Aceh Besar

 
On April 30, 2011 at 3:20 PM , Anonymous said...

kemarin sih waktu maen kesana cuma lewat aja, karena target utama adalah lampu'u mungkin the next backpaker bakalan kesana ni hehe..

salam persohiblogan beuh ^_^

 
On May 2, 2011 at 10:02 AM , Ummul Khairi said...

@auraman: waa..harus kesana Aulia, dijamin bakalan ketagihan karena viewnya itu lho yang bikin kangen balik lagi kesana :)