Author: Ummul Khairi
•Monday, June 27, 2011

Penghujung Juni ini begitu nikmat dihabiskan dengan duduk sore-sore menjelang petang bersama kerabat. Menyeruput teh hangat, makan kue coklat dan teman paling setia, buku. Atau bersenda gurau dengan teman-teman di bawah jembatan Lamnyong sambil makan rujak. Aha...Selasa di penghujung sore akan ada beberapa wanita. Saya juga disana nantinya. Tapi itu cerita lain. Liburan yang akan saya reguk masih panjang kedepan. Bulan Juli ini akan padat. Lebih tepatnya saya padat-padatkan.

Saya anak rumahan yang baru 4 bulan dihadiahi motor. Namanya Memi. Anggaplah begitu. Dulu, sebelum memiliki Memi, saya manja ingin selalu minta diantar oleh Ayah juga Adik lelaki saya, Ekal. Seiring waktu dan kebutuhan juga jadwal (sok) padat di kampus, saya merasa terlalu manja untuk terus minta di antar. Terkesan sedikit memberatkan mereka juga. Saya memutuskan untuk bisa mandiri dengan naik kendaraan umum. Di Aceh namanya labi-labi. Naik labi-labi ternyata menyenangkan juga. Kalau tidak sempat sarapan pagi, saya kadang makan di dalam labi-labi. Apalagi jika ada ujian di pagi hari, saya bisa menyicil menyerap berbulir-bulir formulasi Matematika dengan teorema-teorema plus analisisnya pula. Kegiatan yang paling saya suka di dalam labi-labi ada 2. Membaca dan memperhatikan orang-orang di dalamnya. Wajah-wajah mereka serasi dengan kehidupan yang dijalani.

Suatu ketika saya pernah melihat keluar jendela labi-labi untuk merasakan angin sore. Ah...meskipun Aceh terik di siang hari, namun sore merupakan pemandangan lain. Seperti Tuhan memutar bumi 360 derajat untuk disaksikan manusia di ujung Sumatera. Dunia seperti tidak berhenti untuk menunjukkan jingga yang mempesona. Syahdu benar. Sore hari semua aktifitas berjalan lambat. Saya rasa seluruh dunia bagian manapun berlaku ketentuan seperti itu. Sore hari saatnya nyak-nyak yang sudah renta pulang ke rumah. Pantai-pantai ramai. Warung kopi riuh. Muka mahasiswa seperti orang tak kuasa hidup lagi. Semua biasa saja. Seperti senja yang hari ini muncul, lalu beberapa jam kemudian lenyap di balik langit.

Pemandangan yang menarik itu sebenarnya bukan rutinitas tadi. Pemandangan yang menarik itu ada di luar jendela labi-labi. Seorang Ayah dengan 3 orang anak-anaknya yang lucu. Sepertinya anak-anak itu baru pulang mengaji di Baiturrahman. Saya tau dari seragam yang mereka pakai dan meja mengaji yang selalu mereka bawa. Meja lipat bertulis 26 huruf hijayyah berwarna hijau. Ditambah dengan peci hitam kekecilan yang membuat rambut mereka berantakan. Mereka bercakap-cakap. Kepala Ayahnya kadang melihat kebelakang jok motor. Mengingatkan anak-anak untuk selalu mengencangkan tangan ke pinggang Ayahnya sambil sesekali tertawa kecil mendengar cerita sepanjang pengajian. Ayahnya kelabakan membagi pendengaran. Siapa yang harus di dahulukan karena anak-anak selalu punya cerita. Masing-masing tak mau kalah dengan ceritanya. Seakan-akan cerita mereka paling penting untuk dijadikan headline hari ini. Jika ayahnya tak mendengar cerita sepanjang pengajian maka Ayahnya akan rugi besar. Lampu hijau menyala. Riuh suara anak-anak kecil tadi dan Ayah mereka dalam satu boncengan motor hilang ditelan asap dan kendaraan bermesin lainnya.

Adalah Ayah saya yang selalu menjemput dan mengantar ke sekolah, sedari TK dulu. Dulu saya sengaja Ayah tempatkan di TK yang sejengkal jaraknya dengan kantornya. Semua dilakukan untuk menghemat perjalanan dari kantor ke TK. Meski saya kerap menunggu lama hingga kawan-kawan sudah dijemput orang tua masing-masing sampai saya merasa kesepian karena tidak ada lagi kawan bermain, tapi saya senang karena ketika Ayah datang menjemput, saya pasti dibawanya ke warung kopi untuk makan kue apa saja sepuas hati sambil minum teh hangat. Walau nantinya Ayah berbincang dengan teman-teman kerja, bagi saya tak masalah, asal saya bisa kenyang siang itu.

Ayah juga selalu suka mengamit kepala saya dengan dagunya ketika melewati polisi tidur. Ia mengemudikan motornya perlahan dengan menjenakai saya dan mengatakan "Op bam bam". Begitu seterusnya hingga melewati 3 polisi tidur.

Sewaktu pulang kampung, jika ada yang ingin berkenalan dengan saya yang masih berumur 6 tahun itu, saya selalu malu dan bersembunyi di balik kaki Ayah. Kemudian Ayah selalu menggendong untuk mempertemukan tangan saya pada orang yang minta berkenalan sembari mengeja nama saya "Namanya Ummul Khairi".

Jika malam tiba, saya selalu diajarinya tajwid. Di umur yang masih kecil saya harus sudah bisa mengaji Al-Quran dan Ayah keras dalam hal ini. Pernah Ayah membentak ketika saya salah melafalkan Doa Qunut. Saya menangis dan Ayah menyuruh mengambil wudhu. Begitu pula dirinya. Semua berlaku hingga saya SMA.

Ayah dengan 3 anak kecil tadi mengingatkan saya pada Ayah. Pada lelaki manapun di dunia ketika ia bisa menemani anak-anaknya sepulang kerja. Saya pernah melihat seorang Ayah mengajak anaknya pergi ke Taman Sari ketika sore. Ayahnya mengamit dua lengan anak-anaknya. Mereka sedang bermain "jarak-jarakan". Jarak kaki siapa yang melangkah kedepan dengan cepat dan lebar-lebar, maka dia yang akan menang. Tentu saja Ayahnya mengalah dan kedua anak-anaknya yang menang. Skenario yang dibuat seorang Ayah agar kedua buah hatinya bahagia sore itu.

Saya juga pernah melihat seorang remaja laki-laki pergi bersama Ibunya ke sebuah toko roti. Kebetulan di toko itu juga merangkap sebagai cafe. Mereka duduk di depan saya. Mereka memesan ice cream. Ibu dan anak lelaki ini mengobrol sambil sesekali tertawa. Pasangan yang serasi antara Ibu dan anak lelaki. Saya juga punya teman yang selalu menemani Ibunya belanja ke pasar saban Minggu pagi. Menggantikan Ayahnya untuk menemani ibu. Semua bukan skenario yang dibuat-dibuat seperti menyenangi hati anak-anak kecil tadi. Jika pun hanya skenario, saya yakin lelaki-lelaki yang seperti itu tulus.

Lelaki. Meski kadang egonya tinggi dan selalu bersikap rasional, mereka punya bagian dimana mereka harus memberikan respect sebagai lelaki. Sebagai pelindung. Sebagai hero. Semuanya berlaku untuk orang-orang yang mereka sayangi. Mereka tak segan memberi apapun jika wanita bisa memberikan apa yang mereka butuhkan, pelabuhan untuk segala kepenatan hari-hari yang dijalani.

This entry was posted on Monday, June 27, 2011 and is filed under , , , , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

19 comments:

On June 27, 2011 at 1:51 PM , Latifah Ratih said...

Tulisannya Bagus Mbak....
salam Kenal dari Makassar yahhhhh....

 
On June 28, 2011 at 4:29 AM , Sam said...

tulisannya mengingatkan pembaca untuk bernostalgia kembali dengan kisah2 yang pernah dilalui bersama ayah dan ibu...**Sedang membayangkan juga** :)

 
On June 28, 2011 at 11:45 AM , Anonymous said...

nice post sist, ngena gitu..

salam kenal :)

 
On June 29, 2011 at 6:57 AM , Gaphe said...

Selamat buat motor barunya yaaak, seneng tuh pasti dihadiahi motor begituan. weleeh..
kalo soal cerita tentang ayah, saya dibesarkan dengan sosok ayah yang jarang ketemu.. pulang kerumah 2 minggu sekali aja. dan memang, peran lelaki tuh sangat penting, meski memang menggunakan rasio dalam berkeputusan.. tapi tidak selalu.

nice post ^^

 
On June 30, 2011 at 7:37 AM , Armae said...

memang momen-momen yang sangat menyenangkan, saat sepulang sekolah, sembari sesekali menengok ke ujung jalan, siapa tau sang Ayah sudah nampak dari kejauhan menggunakan sepeda motor butut kesayangannya...

tapi sekarang sepeda motor itu sudah dijual, dan akupun sudah bisa dan diperbolehkan membawa motor sendiri.

rindu masa-masa itu,..

 
On July 1, 2011 at 3:09 PM , lelaki_boemi said...

"Lelaki. Meski kadang egonya tinggi dan selalu bersikap rasional, mereka punya bagian dimana mereka harus memberikan respect sebagai lelaki. Sebagai pelindung. Sebagai hero. Semuanya berlaku untuk orang-orang yang mereka sayangi...." yg ini keren dah!,,,:)

 
On July 1, 2011 at 11:23 PM , Ummul Khairi said...

@latifah ratih: salam kenal juga mba dari Aceh^^

 
On July 4, 2011 at 10:35 PM , Anonymous said...

Ayah saya tdk pernah membentak. tp, lirikannya sudah cukup membuat saya "berwudhu" :D

 
On July 7, 2011 at 3:55 PM , Anonymous said...

Hmm.. Ayah, sosok yang telah mengajari saya banyak hal, keberanian, ketaatan,petualangan dan masih banyak hal lainnya.


selamat berpetualang dengan memi-nya, patuhi rambu-rambu lalulintas :D

 
On July 11, 2011 at 6:18 PM , Ummul Khairi said...

@muti: sama yaa ayh kita^^ *toss

 
On July 11, 2011 at 6:37 PM , Ummul Khairi said...

@sam: segalanya tentang orang tua kita, jika ditulis ulang, bawaannya melankolis, sam...coba deh dituliskan :)

 
On July 11, 2011 at 6:50 PM , Ummul Khairi said...

@mimi: salam kenal juga mimi :)

 
On July 11, 2011 at 6:53 PM , Ummul Khairi said...

@gaphe: benar mas, lelaki tidak selalu menggunakan rasio, somehow mereka punya sisi sensitifnya juga kok :D

 
On July 11, 2011 at 6:55 PM , Ummul Khairi said...

@armae: iya benar, walau keadaannya sudah berbeda, tapi kenangan masa lampau tetap tidak akan pernah dilupakan :)

 
On July 11, 2011 at 6:57 PM , Ummul Khairi said...

@bang affif: eh, benar kan ya lelaki seperti itu?:p

 
On July 11, 2011 at 7:00 PM , Ummul Khairi said...

@bang ibnu: hebat sekali "lirikan" ayahmu bang :D

 
On July 11, 2011 at 7:21 PM , Ummul Khairi said...

@zeph: memi saya masih "virgin" sekali, jadi mestilah saya mematuhi rambu-rambu lalu lintas agar tidak terjadi "kecelakaan" :D

 
On July 15, 2011 at 8:13 AM , Anonymous said...

kirain tadi mau nyeritain motor barunya,eh rupax ttg ayah.. :-)

 
On July 15, 2011 at 11:24 PM , Ummul Khairi said...

@rangakaiannun: hmm..motor juga, ayah juga tapi disini saya mau cerita sedikit tentang "mereka", para lelaki :D