Author: Ummul Khairi
•Tuesday, July 19, 2011

Hari ini ada pesta rakyat di kampus saya. Pemira. Pemilihan Raya untuk menentukan siapa Presiden Mahasiswa untuk setahun mendatang. Selama kuliah, ini Pemira ke-4 yang saya ikuti. Jauh sebelum mengenal Presiden Mahasiswa itu apa, saya sudah lebih dulu paham apa itu organisasi. Bagaimana kesatuan yang dibangun dalam struktur. Agar nanti jika terburai lakon-lakon di dalamnya, mereka masih punya pegangan untuk kembali mengikat. Ujung-ujungnya akan kembali lagi pada wadah semula, kesatuan.

Organisasi bagi saya cukup urgent. Saya sudah bercokol di dalamnya sejak SMP. Baru merasakan organisasi sebenarnya ketika menginjak bangku SMA. Dimulai dari organisasi rohis, OSIS dan Pemimpin Redaksi tabloid sekolah. Jika mengingat masa itu lagi memang tak pernah lekang. Syukur hingga saat ini saya masih menyimpan jejak-jejak kejayaan dulu dalam bentuk visual maupun tulisan. Masa SMA adalah sebuah batu loncatan. Semua momentum yang saya cari ada disana. Inilah awal ketika saya mengenal beberapa orang yang nantinya berpengaruh dalam hidup hingga hari ini. Diawali dengan sesuatu yang paling sederhana, ukhuwah. Persaudaraan.

Saya pikir Presiden Mahasiswa itu melebihi jabatan rektor. Ia memiliki segalanya. Kawan banyak. Prestasi segudang. IPK di atas rata-rata. Pengalaman organisasi jangan tanya. Intinya Presiden itu memiliki kuasa. Agak takjub pertama sekali memilih presiden yang di usung sebuah lembaga. Kami mahasiswa-mahasiswa baru yang tergabung dalam lembaga kampus itu harus memilih satu nama berikut nomor yang harus di coblos. Ternyata sistem pemilihan presiden kampus sama seperti pemilihan presiden pada pemilu. Bedanya, kami mahasiswa. Pemilu, kita rakyatnya. Apalagi waktu itu saya mahasiswa baru yang masih dungu dan lugu.

Suatu ketika di tahun 2009 saya ditugaskan mengikuti sebuah rapat lembaga. Ternyata pada hari itu rapat tidak jadi dilaksanakan karena suatu kendala. Pada saat yang sama beberapa tim sukses juga sedang mengadakan rapat. Kondisi saat itu minus 3 hari pemilihan presiden kampus. Setiap lembaga yang bernaung pada organisasi maupun ormas A, B maupun C sedang gencar-gencarnya merencanakan strategi. Entah strategi apa itu. Hingga lambat laun saya sadar banyak politik yang bermekaran. Daripada kami mahasiswa-mahasiswa semester awal ini menjadi cecunguk, kami diajak masuk untuk mengikuti rapat sembunyi-sembunyi yang dihadiri beberapa petinggi-petinggi politik kampus.

Saya lebih banyak diam saat itu. Tidak mengerti kenapa begitu banyak selebaran yang bergambar calon A dengan nomor sekian yang di sudut kanan selebaran berisi ajakan untuk memilihnya. Saya sedikit tertawa dengan beberapa kalimat yang salah penulisan EYDnya. Foto hasil copyan calon yang di usungpun agak sedikit nyentrik-jika bisa dikata berlebihan. Beberapa mata tertuju pada saya ketika secara blak-blakan saya ungkapkan beberapa kekeliruan yang maksud hati ingin memberi saran tapi di respon sedikit negatif oleh mereka. Saat itu juga saya sadar telah berada pada ruangan yang salah dan pembicaraan yang belum terlalu saya mengerti.

Sekarang sudah tahun 2011. Sedikit banyak saya sudah tau pergerakan kampus dan menjelang kampanye kepresidenan. Agenda mereka yang mengelu-elukan calonnya begitu banyak dengan serentetan acara hingga debat kendidat. Semuanya dilakukan secara terstruktur hingga tanpa cela. Semua mahasiswa mendapat hak melihat langsung ketika calon-calon mereka naik panggung untuk menyampaikan visi-misi. Sebuah pesta rakyat yag transparan di muka. Meski kami para mahasiswa belum pernah sekalipun bertatapan jauh-jauh hari sebelum calon presiden di usung, tapi tiap tahun saya mendapat puluhan sms untuk memilih calon ini dan itu. Mendekati hari-H, sms makin gencar hingga bernada sedikit memaksa untuk memilih Calon Presiden (Capres) Apel, Melon dan Manggis. Sama seperti Capres yang kebanyakan tak dikenal para mahasiswa, sama juga halnya seperti beberapa teman saya yang terlibat langsung dalam Pemilihan Raya ini. Jika memperhitungkan logika, wajar saja calon yang diusung sebagai Capres tidak pernah terlihat sebelumnya. Mahasiswa dari fakultas tempat belajar sendiri saja jarang terlihat, apalagi mahasiswa dari fakultas lain. Namun, beda halnya dengan teman-teman saya yang sehari-hari sering saya lihat dan kenal pula.

Beberapa teman di sekeliling saya memiliki potensi untuk menjadi orator maupun Tim Sukses (TS). Teknis mereka dipilih beragam. Bisa jadi karena kedekatan dengan suatu lembaga atau organisasi, bisa karena potensi-potensi tadi dan bisa juga karena sering ikut-ikutan. Saya sendiri pernah hampir dilibatkan dalam masalah Pemilihan Raya, namun secara perlahan saya mundur. Bukan karena cacat potensi. Tapi hanya karena satu hal yang sebentar lagi akan saya jabarkan.

Kondisi gencar sms dimulai kira-kira seminggu sebelum hari-H Pemira. Berbagai sms "iklan" untuk mendukung dan menycoblos calon bernama "Melon" saya dapatkan hampir setiap hari dengan waktu tak pasti. Hingga tengah malampun sms masih berdatangan. Syukur saya menganut ilmu vampir. Produktif di malam hari :D Jadi tidak terlalu mengganggu, juga tidak pernah sebarispun digubris. Hari yang dinanti tiba. Saatnya Pemira. Semua yang masih terdaftar sebagai Mahasiswa Unsyiah berhak mendapatkan hak pilih. Seperti hari ini. Pagi tadi seluruh komponen maupun petinggi yang kelak menduduki sebagai pengurus Pemerintahan Mahasiswa nanti berkumpul di titik-titik yang berbeda dan tentu saja sudah di organisir serapi mungkin. Kampus pagi tadi, dan pagi-pagi pada Pemira tahun-tahun lalu, seperti sunyi. Seperti ada banyak rahasia dalam mulut-mulut. Rahasia-rahasia tersembunyi itu tidak akan dimuntahkan sekarang. Tapi nanti ketika mereka sudah punya kursi. Ketika nama-nama mereka tercatat dalam dokumen asli.

Sekitar pukul 10 selepas berkutat dengan rumus-rumus rotasi dan partikel, saya menggunakan hak sebagai mahasiswa. Setelah mencoblos saya langsung ke mushala depan kampus untuk Dhuha. Tanpa ba-bi-bu seseorang menyapa saya dengan,

"Eh, udah nyoblos?". Saya berkilah,
"Hmm, belum"

Raut mukanya berubah masam. Rasanya ingin sekali menjawab lagi "Ini mushala. Mengapa tak tanya sudah Dhuha, apa kabar atau sudah sarapan belum?". Maaf kawan. Saya sengaja berbohong untuk melihat reaksimu. Untuk membuktikan apa yang selama ini saya yakini benar. Menolak mundur untuk turut terlibat teknis langsung dalam Pemilihan Raya.

Semalam Abaty sms seperti ini " Esok kita menikmati pesta demokrasi mahasiswa. Pastikan esok kita berpartisipasi dalam Pemira dan jangan lupa bawa kartu pengenal untuk menyoblos. Kakak yakin kalian tau siapa yang akan kalian pilih. Semoga Allah membersamai kita ". Bahasa yang halus, singkat, jelas dan tanpa paksaan. Lalu, kenapa juga kawan-kawan saya yang berkecimpung langsung dalam Pemira harus sms seperti ini "Diintruksikan kepada seluruh jajaran bla...bla...untuk dapat mencoblos dari pukul 8 -9 pagi. Jangan lupa pilih "Melon" dengan nomor "3443". Jika sudah selesai mencoblos segera hubungi saya". Bahasa yang sangat memaksa dan kental unsur politik.

Saya dan Abaty cukup dekat. Setiap minggu kami bertemu untuk saling bertukar ilmu, mengingatkan satu sama lain, merekonstruksi ibadah yang sedikit melemah dan banyak hal lain. Sebuah struktur yang rapi dalam kelompok kecil untuk selalu memperbaiki diri. Kawan-kawan saya yang berlabel organisasi atau lembaga A, B maupun C, hanya sesekali bertemu, jarang komunikasi maupun interaksi juga jarang berada di kampus. Seperti mereka hanya mengenal mahasiswa ketika Pemira tiba. Seketika menjadi syahdu dengan tausyiah melalui sms. Seketika menjadi yang terdepan jika memilih "Melon". Seketika menjadi demikian akrab dengan junior-junior di kampus. Menunggui gerbang kampus untuk sekedar bertanya "dek, udah nyoblos?". Lupakah mereka sapaan umat islam "Assalamualaikum" atau sekedar bertanya "Apa kabar?". Seketika menjadi baik mentraktir beberapa orang yang sedikit "bebal mencoblos" untuk di antar ke depan kotak TPS. Seketika begitu banyak pesan singkat yang masuk dan deringan telepon untuk -lagi-lagi- mengingatkan orang-orang "udah nyoblos belum?" bukan diingatkan "nanti jangan lupa sarapan ya". Mukanya berseri hari itu. Cuma sehari itu saja untuk selanjutnya meninggalkan semua keadaan yang sudah terlanjur terjadi. Besok sudah bisa dipastikan tidak ada satupun batang hidung mereka, teman-teman saya penyelenggara Pemira. Ternyata rasa manis sehari hanya untuk Pemira. Beginikah interaksi itu dibentuk?

Saya dibesarkan dalam struktur organisasi maupun lembaga yang disusun rapi. Dalam sebuah organisasi yang padat makna. Saya tak akan berani menerima jabatan ini-itu jika satu senti pun tak tau makna mengapa harus melakukan tugas dari jabatan tersebut. Apa yang menjadi lakon dalam hidup, disitulah semua gerak. Disitulah semua berproses. Bukan hasil yang menjadi tujuan utama, tapi sekali lagi, proses untuk berkembang menjadi yang lebih baik. Tak mudah memang. Karena kepayahan itulah yang dinilai Sang Maha Kuasa. Kepayahan mengeluarkan pendapat kala ide berada di minoritas penerimaan, bersitegang dengan kepala-kepala yang tak sepaham, pintar-pintar mengelola manajemen waktu, dan terus bertemu dengan karakter berbeda dari tiap generasi. Nanti semuanya akan di akumulasikan melalui gerak untuk berbuat. Paham dengan apa yang dijalani. Semuanya hanya untuk memperkuat ukhuwah. Persaudaraan. Tak-tik apa yang menyebabkan Kafir Quraisy menang melawan Islam pada masa setelah wafatnya Rasulullah? Bukan karena harta, tahta, jabatan, maupun wanita. Tapi karena jalinan ukhuwah yang sudah terburai kemana-kemana. Interaksi dan komunikasi yang dibangun setengah-setengah. Itulah mengapa saat ini terlalu banyak kubu yang kita jumpai. Terlalu banyak kepala-kepala yang beranggapan kelompoknyalah yang paling benar. Kelompoknyalah yang seharusnya menang. Kelompoknyalah yang pantas berkuasa.

Kawan, hidup bukan persoalan kalah-menang. Hidup bukan seumpama piala yang selalu di elu-elukan. Hidup juga bukan 5+5 sama dengan 10. Hidup adalah proses mencari hingga menemukan. Kemudian berproses lagi. Begitu seterusnya. Ketika berproses juga tidak bisa sendiri. Kita butuh pegangan. Butuh sandaran. Butuh pedoman. Adalah mereka, orang-orang di sekitar kita yang tidak datang sehari maupun kemarin. Karena sesuatu yang instan maka juga pergi dengan instan. Dialah ukhuwah. Persaudaraan kuat yang akan selalu mengingatkan ketika kita lupa lakon hidup sebagai makhluk lemah. Sudah dari semalam badan saya seperti remuk-remuk. Baby oil pun tak mempan. Agaknya saya perlu istirahat lebih awal dan meninggalkan sejenak dunia "vampire" :D

nb: Bagian terakhir tidak terlalu penting. Hanya untuk menambah keorisinilan tulisan dan keadaan saja.

This entry was posted on Tuesday, July 19, 2011 and is filed under , , , , , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

4 comments:

On July 21, 2011 at 12:41 PM , Anonymous said...

kemarin, ibnu tanya siapa "dia", calon yang dierukan untuk dipilih. tiba-tiba kawan terkejut.
"hah.. masa ngk kenal sihh" ibnu tersenyum.

yah, maklumlah kita tak kenal. krn baru skrang sapa y :D

 
On July 23, 2011 at 12:00 AM , Ummul Khairi said...

@bang ibnu: jadi, nyoblos selasa kemarin tak, pak cik? :D

 
On August 18, 2011 at 10:58 PM , adee04 said...

Wuaduh, politik memang heboh dan menghebohkan :D

 
On August 26, 2011 at 11:28 PM , Ummul Khairi said...

@ade: tapi...kita sendiri diam-diam "bermain" di dalamnya, ups!