Author: Ummul Khairi
•Saturday, October 15, 2011

Taiwan. Bukan negara yang asing lagi untuk saya. Perangainya, logatnya, hingga pelitnya pun saya sudah hapal. Sejak-kurang lebih- 2007 lalu mereka sudah gencar datang ke Aceh. Mungkin tahun-tahun awal kedatangan mereka tidak terlalu digubris, karena mereka hanya berurusan dengan beberapa pihak yang mengundang hanya sebatas urusan akademik kampus intern, juga penandatanganan MoU menyangkut kesepakatan kerjasama bilateral. Ah...saya tidak tau pasti. Pada tahun berikutnya hingga sekarang, Taiwan gencar membuka peluang selebar-lebarnya untuk masyarakat Aceh yang ingin mendapatkan beasiswa by research atau course-work. Dan, terbukti beberapa mahasiswa Aceh yang berniat melanjutkan magister dan doktor diterima dengan sangat "welcome". Jika ada event besar yang menjadi benang merah antara kesuksesan penyedia beasiswa dengan mahasiswa, pasti keterkaitan itu adalah Taiwan Higher Education.

Siapapun yang merasa tertarik melanjutkan study ke Taiwan-terutama bidang Sains dan Teknologi- wajib datang ke acara setahun sekali ini. Dua ribu sebelas adalah kedua kalinya negara anak emas Amerika ini datang ke Aceh. Masih dengan misi yang sama, membuka informasi dan peluang selebar-lebarnya bagi siapapun yang ingin melanjutkan study ke Taiwan. Konsep dan teknis acara sama seperti tahun lalu. Saya juga pernah membuat satu postingan khusus disini. Tahun ini adalah pengalaman kedua saya sebagai booth-companion. Karena secara teknis dan konsep tidak ada yang berbeda, saya tidak merasa kesulitan sama sekali, walau tetap ada perbedaan yang cukup signifikan antara Chiao Tung University dan National Taiwan University of Science and Technology...


Me Vs National Taiwan University of Science and Technology
Universitas ini terletak di Taipei. Menurut seorang International Admission Office of International Affairs-yang saya lupa namanya siapa- lokasinya berdekatan dengan Taipei 101. Layaknya penyedia beasiswa, mereka menawarkan jurusan-jurusan yang bisa dipilih sesuai dengan ketertarikan masing-masing. Seperti, Computer Science, Construction Engineering, Chemistry Engineering, Mechanical Engineering, Architect, Management Business, dll. Khusus untuk program Magister dan Doctor, mereka menawarkan Full English Taught. Dan, untuk Bachelor hanya tersedia kelas bahasa Mandarin. Dalam brosur yang dibagikan, saya melirik bahwa Taiwan Tech-sebutan lain untuk National Taiwan University of Science and Tecnology- adalah kampus nomor wahid untuk fokus sains dan teknologi. Saya tidak tau benar atau tidak, karena seperti itu yang tertulis. Jika berminat apply beasiswanya, sila kemari.

Jadi, ada apa antara saya dan Taiwan Tech? Sebenarnya saya tak ingin membuka lebar-lebar apa yang terjadi 1 oktober lalu. Cukuplah saya dan beberapa panitia inti yang berhak tau. Tapi, saya pikir nilai sebuah tulisan itu bukan terletak dari seberapa banyak diksi ataupun polemik yang dijabarkan, tapi keaslian tulisan itu sendiri. Tulisan yang nyata dan apa adanya lebih menembus ke hati. Mengapa ada perbedaan yang cukup signifikan antara tahun lalu dan tahun ini? Karena saya membuat sebuah pembanding. Pembanding tidak selamanya bernilai negatif. Sebaliknya, tidak selamanya juga pembanding bernilai positif, seperti sedikit rasa kecewa yang saya alami dengan Taiwan Tech.

Sebagai booth-companion, tugas kami adalah membantu mereka dari A hingga Z. Mulai dari pemasangan segala properti kampus seperti poster, bendera, mengatur booklet, memajang souvenir, mengingatkan mereka untuk lunch tepat waktu bahkan menggunting selotip dan membuang sisa sampah. Selebihnya, booth-companion membantu menerjemahkan segala informasi yang ingin diketahui pengunjung dari bahasa Inggris ke bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Setelah acara selesai, segala properti yang ada harus dilepas dan dimasukkan ke tempat semula. Seperti itu. Sederhana saja.

Booth-companion juga harus ramah memperkenalkan diri dan menayakan apa yang bisa dikerjakan agar semua pekerjaan cepat selesai. Saya juga, memperkenalkan diri dan menanyakan apa yang bisa saya kerjakan. Walau ujung-ujungnya mereka sendiri yang lebih tau posisi properti yang diinginkan. Jika tidak bisa mengerjakan sendiri, mereka meminta bantuan dengan sesama Taiwanese dalam bahasa Mandarin. Saya yang mengerti mandarin seujung kuku hanya bisa bengong-bengong saja. Huh...

Baru saja selesai meletakkan properti dan segala atribut universitas, kami sudah harus pindah ke booth yang lain. Saya tidak mengerti kenapa booth Taiwan Tech harus pindah, karena sekali lagi, mereka berbicara bahasa Mandarin tanpa pernah mau melibatkan saya sebagai booth-companion. Saya sudah mengendus kondisi yang tidak enak. Secepat mungkin kami pindah dan ba-bi-bu semua selesai dengan tanpa bantuan saya. Kawans, sungguh tak enak jika diacuhkan. Waktu berlanjut ke sesi pembagian booklet. Saat itu pengunjung sedang ramai-ramainya. Saya bertugas membagi booklet sambil berdiri tidak dipersilahkan duduk untuk sekedar melepas penat sesaat. Malangnya, kursi yang tersedia hanya untuk 3 orang dan semua sudah diduduki oleh mereka, Taiwan Tech's International Admission Office of International Affairs. Padahal saya sudah lelah sekali, sedang datang tamu bulanan pula. Oh, lengkaplah sudah.

Sekali lagi, jika harus membuat perbandingan, saya bisa mengatakan bahwa mereka tidak ramah. Tidak ada chit-chat sekedar bicara santai di sela-sela break. Mereka dengan sesama mereka saja. Bahkan waktu makan siang yang seharusnya saya ingatkan, mereka lakukan tanpa sepengetahuan saya. Jadilah saya sendiri dengan pengunjung yang berdesakan mencari informasi dan memburu souvenir.

Apakah semua orang Taiwan seperti itu? Saya rasa tidak juga-walau katanya mereka lebih individualis-banyak orang indonesia yang seperti itu, bahkan lebih. mungkin mood mereka sudah tidak karuan ketika booth Taiwan Tech harus dipindah. Atau mungkin saya saja yang sedang sensitif karena "si tamu" itu.

Me Vs Chiao Tung University
Sebelum hari-H, booth-companion dan calon booth-companion harus hadir ke KBA (Komisi Beasiswa Aceh) untuk mendengar sedikit pengarahan tentang jalannya acara. Di sela-sela pengarahan, saya dan teman-teman sempat berdiskusi dengan interviewer dan menyampaikan beberapa kendala jika ada. Secara teknis tidak ada masalah yang berarti, tapi saya sangat berharap ditempatkan pada booth yang sama seperti tahun lalu, Chiao Tung University. Ternyata booth tersebut sudah dipenuhi oleh seorang mahasiswa yang akan berangkat melanjutkan study disana. Alasannya agar mahasiswa tersebut bisa lebih dekat dengan universitas yang menjadi tujuannya. Sebenarnya sah-sah saja alasan itu. Saya pikir bagus juga, selain lebih dekat secara personal, informasi yang lebih akuratpun bisa digali langsung dari admissionnya.

Admission Chiao Tung yang akan datang adalah orang yang sama, Janet. Janet sangat ramah dan ekspresif. Saya tidak menduga booth kami bersebelahan. Saya pikir Janet akan lupa dengan seorang perempuan yang sudah membantu boothnya tahun lalu. Ternyata dia ingat dan langsung menyapa saya sambil berpelukan. Wanita berkaca mata ini juga memberi hadiah special yang ia tanya langsung pada seorang senior saya yang sedang melanjutkan study di Chiao tung. Such a honorable thing. What a beautiful making friendship.

Chiao Tung Vs National Taiwan University of Science and Technology
kawans, sekarang terbukti bukan? Bahwa etika dan perangai ternyata cukup mendominasi. Seorang yang cerdas sekalipun jika sombong tetap dipandang sebagai orang yang tidak berilmu. Itulah kenapa knowladge berada di urutan kedua setelah integrity. Dan hal ini berlaku bagi saya sebagai sebuah pembanding. Nilai-nilai apa yang harus saya garis bawahi sebelum mengambil keputusan. Jika pada akhirnya saya akan melanjutkan study ke Taiwan, sudah bisa saya pastikan Chiao Tung berada dalam daftar pilih. Dan, sudah bisa saya pastikan pula bahwa Natioanl Taiwan University of Science and Technology tidak berada dalam daftar pilih maupun dalam "kamus" hidup saya.

English, again and again!
Bahasa Inggris menjadi jaminan untuk melalui tahap akademik dan komunikasi verbal yang global. Saya tidak pernah mendapat kerugian dengan belajar-mengajar bahasa Inggris. Jujur, saya juga tidak pernah belajar bahasa Inggris secara intensif dan berkala dengan mengikuti les khusus bahasa Inggris. Tidak. Tidak pernah sama sekali. Saya hanya cinta bahasa Inggris. Saya tidak pernah berpikir rumit untuk belajar mencintainya. Saya mencintainya dari waktu ke waktu dengan berlatih, berlatih dan berlatih. Dengan apapun dan siapapun. Jadi, benar jika belajar atas dasar ketulusan dan cinta, kesuksesan itu akan ikut dengan sendirinya. Manis sekali bukan?

personal documentation belongs to Ria Purnama dan Suci Farahdilla

This entry was posted on Saturday, October 15, 2011 and is filed under , , , , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: