Author: Ummul Khairi
•Friday, May 25, 2012

Pagi dingin. Tapi tidak untuk orang-orang yang cekatan mengeluarkan balok mesin-mesin tua. Mereka gegas memburu waktu. Berkejaran dengan selimut kabut dari Tangan Tak Tampak. Menghalau rintik air yang turun perlahan dari langit. Di luar terlalu bising. Mereka tidak memberi kesempatan padaku untuk sedikit saja mengejamu. Setidaknya, biarkan aku meresapimu dalam-dalam hingga ke titik nadir.

Kau dan hujan yang bersahutan diseberang sana. Kau dan diammu. Kau dan abdimu. Aku dan sendiriku. Aku dan caraku menyimpanmu rapat.

Dalam rintihan langit dan kapas hitam yang menggumpal, ada sembilu yang ingin ku cerca. Ada sekat yang ingin segera kulepas. Ada belikat yang terus menggrogoti hingga ke sumsum. Ada rasa yang ingin diungkap. Namun bodohnya, aku tak tau dengan cara apa. Seperti bayi yang baru lahir. Bersahut-sahutan suara tangis yang ingin diperdengarkan pada orang tuanya. Bahwa aku lapar, bahwa aku dahaga. Aku seperti orang bisu yang tiba-tiba bisa berbicara. Tak tau harus memulai kata apa, karena begitu banyak kalimat yang ingin keluar. Seperti bom molotov yang siap meledak. Meletup-letup tak beraturan. Menelisik, menggerus, mengganda, meneriaki.

Aku seperti si tuli yang mendapat titah untuk mendengar kembali. Ingin mendengar semua hal. Tapi disaat yang sama butuh filter untuk menyaring suara-suara yang datang. Bahkan mendengar desauan angin pun seperti sia-sia.

Aku seperti ingin terbang segera setelah mendapat sayap. Namun lagi-lagi tak tau harus kemana, sedang aku ingin pergi ke banyak tempat. Aku seperti jutawan baru yang mendapat harta karun berharga. Tak tau harus membelanjakan uang kemana.

Bahwa aku punya milyaran kata cinta terindah, namun tak mampu kuucap se-milyaran itu. Karena terlalu bahagia. Akhirnya hanya bening-bening kecil yang akan pecah. Batapa aku tak bisa mengungkap sepatah katapun ketika mendapatnya. Segala yang masih klimaks, hingga tak sepenuhnya tatanan itu terkumpul lengkap.

Lihatlah kini. Tuhan telah menjamah tiap relung hati. Aku hanya punya satu sikap yang ingin kutunjukkan pada Tuhan betapa aku menyayangiNya, sekaligus merasa tak pantas mendapat kasih sayangNya. Betapa aku terlalu sombong untuk bersikap sederhana. Betapa aku terlalu ceroboh untuk tidak gegabah. Betapa aku terlalu munafik untuk sekedar berkata cinta. Untuk sekedar menunjukan cinta.

Saat tidak ada yang paling rendah selain sujud kepalaku dibawah KakiMu Yang Maha Agung seraya berucap “Aku ingin memelukmu. Tak sekalipun kulepas lagi”. Lalu kemudian aku kasmaran. Hanyut antara aku dan Tuhan. Hanya berdua saja.

Lihatlah madu manis itu. Dengarlah angin syurga itu. Tuhan punya jawaban sendiri. “Kemari duhai hambaku…apa yang membuatmu sakit? Bagian mana yang sakit itu? Mari kuobati. Masihkah sakit hambaku? Datang padaku, biar ku obati hingga engkau sembuh”.

Kawan, apa yang bisa kujelaskan pada bagian ini selain cinta yang berlipat-lipat.

Dan, aku masih disini,

Mencintaimu.

Entah kenapa.

More...