Author: Ummul Khairi
•Saturday, April 23, 2011

Saya selalu tertarik dengan topik yang satu ini. Bagaimana proses panjang yang dibutuhkan seseorang dalam membangun relasi melalui komunikasi, kemampuan merespon, penyelesaian suatu masalah yang dihadapi dengan analisa yang tidak sembarangan, membuat saya ikut tertantang untuk mengetahui sedalam apa sesungguhnya sebuah otak mempengaruhi seluruh sentral kehidupan antara lelaki dan wanita.

Sebelas april lalu, saya tertarik dengan sebuah buku Female Brain-nya Louann Brizendine. Awalnya saya pikir, buku ini akan berisi hal-hal yang melegalkan kesebuah anugerahan, betapa wanita sungguh beruntung dicipta dengan otak yang kompleks yang akan jauh 180 derajat berbeda dengan lelaki. Tapi nyatanya tidak juga. Brizendine juga menelurkan pasangan buku ini, Male Brain. Hingga hari ini, saya belum ketemu couple si Female Brain ini.

Generally, buku-buku riset para peneliti tentang perbedaan otak wanita dan pria ini sudah banyak. Tapi tidak spesifik. Namun, lagi-lagi hasil penelitian juga menjadi tolak ukur untuk pencapaian suatu hal yang kita sebut komunikasi. Well, walau ujung-ujungnya itu juga, hasil penelitian ini tidak pernah bosan untuk saya bahas. Ketertarikan awal, ya karena dalam kehidupan sehari-hari kita tidak pernah lepas dari interaksi, baik laki-laki maupun wanita. Intinya seperti begini, tujuan akhir dari hasil telitian puluhan tahun dengan lebih 200 responden ini bukan menunjukkan seberapa hebat otak lelaki dan wanita dalam interaksi, bukan untuk menjadi ajang perdebatan dan judging ketimpangan suatu komunikasi dalam sebuah hubungan yang akhirnya bisa keluar statement ”saya berpikir seperti ini, karena otak saya sudah terprogram seperti ini”, bukan pula untuk saling membandingkan sebuah keuntungan memiliki atau diciptakan sebagai lelaki dan perempuan, bukan, bukan itu. The bigest idea is, how to accept each other, to be more tolerant and forgiving, the way we know we have different way to solve something.

Sebuah penelitian di University of Texas atas anak-anak perempuan dan anak laki-laki usia satu tahun memperlihatkan perbedaan dalam keinginan dan kemampuan mengamati. Sepanjang 3 bulan pertama kehidupan, keterampilan seorang bayi perempuan dalam kontak mata dan saling menatap wajah akan meningkat lebih dari 400 persen. Sejak lahir, bayi perempuan sudah berminat pada ekspresi emosi. Mereka mendapat makna tentang diri mereka berdasarkan tatapan, sentuhan, dan setiap reaksi dari orang-orang yang melakukan kontak dengan mereka. Dari petunjuk-petunjuk ini, mereka mengetahui apakah mereka berharga, layak dicintai atau menjengkelkan. Anak-anak perempuan tidak menoleransi wajah datar. Mereka menafsirkan wajah tanpa emosi yang diarahkan kepada mereka sebagai sinyal bahwa mereka telah melakukan kesalahan.

Untuk hal ini hampir 100% saya sepakat. Saya pernah meminta kesediaan seorang teman laki-laki untuk membantu saya menyelesaikan suatu hal. Saat itu saya menangkap ekspresi datar atas kesediaannya, walau akhirnya ia membantu juga. Nah, disini saya mulai menebak-nebak. Apakah ia ikhlas membantu saya atau tidak? Atau apakah saya harus berkata ”maaf sudah mengganggu”. Dan, saya pribadi tidak suka dengan kondisi menebak-nebak. Satu hal lagi, tentang sentuhan. Mayoritas sesama wanita sering berpelukan sambil cipika-cipiki ketika bertemu. Untuk apa? Mereka melakukan hal itu karena bagi wanita sentuhan adalah sebuah kondisi yang sangat dekat dan mampu mengekspresikan banyak hal, senagkah, sedihkan, marahkan, kesalkah, etc.

Riset atas mamalia oleh kelompok Michael Meaney telah memperlihatkan bahwa keturunan perempuan sangat dipengaruhi oleh seberapa tenang dan pedulinya ibu mereka.

Walau sebenarnya seorang anak tetap akan mewarisi sifat ayah dan ibunya, namun tetap saja seorang ibu punya peranan penting untuk tumbuh kembang anak secara fisik, mental juga otak. Mungkin itulah mengapa seorang wanita yang belum menikah banyak sekali wejangannya, apalagi untuk urusan kesehatan, pola hidup juga reproduksi.

Satu hal lagi, ledakan tangis seringkali mencengkram perhatian otak laki-laki. Air mata hampir selalu mengejutkan dan membuat sangat tidak nyaman seorang lelaki. Seorang perempuan karena ahli membaca wajah, akan mengenali bibir yang cemberut, mata yang menyipit, dan sudut-sudut mulut yang bergetar sebagai pembuka tangisan. Seorang lelaki tidak akan melihat hal ini. Biasanya tanggapannya, "Kenapa menangis?" atau "Eh, kok nangis. Duh...jangan nangis lagi ya". Para peneliti menyimpulkan bahwa skenario yang lazim ini menunjukkan kalau otak laki-laki menempuh proses lebih lama untuk menangkap makna emosi dalam berbagai persepsi yang masuk.

Ini pengalaman pribadi. Waktu itu saya punya problem yang sedikit pelik. Hampir pukul 2 pagi saya masih belum juga tidur karena menangis. Kebetulan messangger saya juga masih ON. Saya butuh teman untuk berbagi untuk setidaknya meringankan beban sejenak. Kemudian salah seorang sahabat saya menelpon untuk memastikan keadaan saya baik-baik saja. Jika kita mendapati seorang wanita menangis di depan seorang lelaki dan sikap mereka masih cuek, itu bukan berarti mereka betul-betul tidak peduli, tapi mereka bersikap demikian karena lelaki tersebut tidak tau harus berbuat apa. Mungkin itu sama halnya ketika kita sangat bahagia dan ingin mengeluarkan sebuah statement kebahagian, kadang kita hanya diam atau mengatakan i have no words to say untuk mengungkapkan kebahagiaan tersebut.

Buku Female Brain ini juga mengungkapkan tentang mengapa perempuan menggunakan sekitar 20.000 kata perhari sedangkan lelaki hanya menggunakan 7000 kata perhari, atau mengapa perempuan dapat mengingat rincian suatu masalah yang tidak dapat diingat sama sekali oleh lelaki, juga mengapa perempuan cenderung membentuk ikatan yang lebih dalam dengan teman perempuan mereka daripada yang dilakukan para lelaki untuk teman lelakinya, dan masih banyak lagi. Buku ini layak untuk dimiliki oleh wanita maupun lelaki.

More...

Author: Ummul Khairi
•Saturday, April 23, 2011


Serupa tangga yang berliku, aku menaiki tiap terjalnya. Memahatnya, menghaluskannya bukan perkara mudah. Tapi kau diatas sana adalah sebuah pembeda. Tau apa yang kau jalani dan kenapa harus bertahan. Bukan memenangkan pualam sanjungan dunia dengan segala rupa-rupa.

Seperti tak layak, kau tak diperhitungkan. Dianggap gila. Maka yang keluar dari cercauan mereka adalah sampah! Lihat, kau dikata sampah.

Kalau ada yang mencari oase, mungkin seorang tua dengan punggung melengkung masuk tanpa izin. Sedang pintu terbuka untuk segelas air. Jika seorang tua menanya mana utara, telunjukmu bicara, ikuti saja arakan ufuk senja. Bangau merah muda pulang dengan kawanannya.

Jika ada orang derma memberi sekerat roti kembang, maka langkahmu gegas mencari tisu. Orang derma pulang membawa tanya. Lalu, pintumu masih terbuka pada anak-anak beringus meminta jatah roti mentega.

Dibawah bukit. Ada surau-surau bergaung merdu. Corong-corong menyaring merdu. Corong-corong kenal Tuhan. Corong-corong tak bantah Tuan.

Ada satu hal jika ada dua hal yang selalu mereka lupa. Mereka duduk di atas pagar karatan di tengah jalan. Sebentar lagi pukul 6 petang. Dari bukit terlihat bola-bola besar seperti lampion. Satu persatu nyala. Satu persatu balok-balok bermesin pulang. Kota pun tenang.

Pagar ilalang setinggi badan mulai menguning. Tak ada yang berani menyabit. Itulah kenapa mataku mencuri pandang sedikit.

Rumah diatas bukit. Kau diam. Kau tak angkuh. Katamu, inilah aku.

Katamu, aku berdiri bukan karena berpijak, tapi karena pijakan. Mereka hanya melihat apa yang terjadi, bukan melihat keadaan sebenarnya. Aku diam bukan berarti tak mampu bicara. Aku berjalan lurus, bukan berarti tak pernah berbelok. Aku merdeka bukan berarti tak punya aturan.

Rumah diatas bukit, lihat sore jingga benar! Di depanmu laut tergelar.

Aku pasti kembali. Untuk melihat perempuan kecil bermain gasing berputar. Walau, kantung plastik harus penuh dengan jagung bakar.

Dan, hey..Meski di bukit, saban kesana kulihat rambut-rambut selurus lidi bermata cipit tapi setiap pulang aku membawa hal baru.

Mataku memunggumimu tanpa gugu karena kau semanis madu.
More...

Author: Ummul Khairi
•Thursday, April 14, 2011

Saya harus bilang seperti ini, i'm in the super highest mood right now!
Why? Hm, jujur, saya sedang tidak ingin berspekulasi dengan keadaan yang melilit seperti sekarang. Sudah seminggu lebih, harus selalu berhubungan dengan peta Kota Banda Aceh. Ini hasil kerja praktik selama hampir 3 bulan (terhitung Februari) di Lab. GIS & Remote Sensing, di Integreated Universitas Syiah Kuala. Selama bulan februari, saya masih santai mengerjakan project, dan setelahnya saya terbawa pada kondisi "acuh" dengan semua kerjaan. Akhirnya tidak satupun selesai!

Awalnya pembimbing lapangan saya memberikan project yang melahirkan ide untuk saya teruskan di PKM (Pekan Kreativitas Mahasiswa). Dia menawarkan project yang berhubungan dengan model-model 2D pada peta kemudian di rendering untuk dijadikan model-model 3D. Sebagai informasi, objek 2D di dalam satu kecamatan saja ada 7000 lebih. Itu hanya bangunannya saja. Belum lagi objek pohon, jalan, sungai, vegetasi etc. Lha? Bagaimana saya harus men-digitasi semua objek jika Kota Banda Aceh memiliki lebih dari 5 kecamatan? Sila hitung sendiri berapa banyak model-model 2D yang harus saya rendering ke dalam model-model 3D. Karena tidak memungkinkan model-model tersebut selesai dalam deadline waktu kerja praktik, akhirnya scoupe peta di perkecil untuk satu kecamatan saja. Fiuh..
Dan, karya tulis ilmiah (untuk PKM) terpaksa harus ganti judul.

Kendala saya cuma satu, saya belum mengerti cara mengubah model-model tersebut kedalam 3D. Beberapa senior sudah sempat saya tanyakan, seperti kakak yang baik ini. Tapi mereka juga kurang paham. Lucunya, pembimbing lapangan saya juga belum tahu bagaimana rendering 2D ke dalam 3D. Beberapa minggu saya sempat tidak berani menunjukkan batang hidung ke Lab. Saya tidak pernah berani memberikan report tanpa progress apapun. Saya memang sudah membaca literatur tapi entahlah, otak saya bebal. Akhirnya saya berpikir keadaan sekarat sekalipun harus diberi tahu. Harus terbuka dan transparan. Karena siapapun juga tidak pernah tahu keadaan seseorang jika orang tersebut tidak pernah memberi tahu. Well, setelah saya jujur, ada perasaan lega yang membuncah, dan Alhamdullillah pembimbing saya sangat baik. Ia mengerti keadaan saya.

Saya ingat sekali ketika kami-saya dan pembimbing-belajar bersama-sama untuk memecahkan masalah rendering model tersebut. Entah karena waktu yang terlalu singkat, waktu itu kami juga belum bisa memecahkan persoalan tersebut. Padahal banyak sekali literatur di depan mata. Hingga keesokan harinya, pembimbing bisa dengan cepat memecahkan persoalan tersebut. Ternyata caranya sangat gampang. Dan, memang ketika memecahkan sebuah masalah harus dengan kepala dingin, sekalipun masalah sederhana jika otak tidak sejalan dengan hati juga bisa semraut. Dan, the time is goes on.

Saya harus selalu stay di Lab. Menunjukan progress, membahas kendala dan konsultasi. Saya jadi teringat tempo hari seusai shalat dhuhur di mushalla dekat kampus, seorang senior saya mengkerutkan kening membaca agenda harian saya yang tertinggal di mushala sebelum sempat saya ambil kembali. Dari catatan saya yang ia baca, ia menyimpulkan kalau saya orang yang melankolis. Semua harus teratur, terurut dan sistematis, sehingga sering kali terkesan perfeksionis. Jika ada satu hal saja yang rusak dari sistem yang telah dibuat, pasti akan merusak seluruh sistem. Untuk mengerjakan satu hal harus fokus terhadap kerjaan tersebut dan tidak bisa mengerjakan dua hal sekaligus dalam satu waktu bersamaan. Setelah senior saya berkata seperti itu, rasanya saya ingin memeluknya dan mengatakan "semua yang kakak bilang tidak ada kecacatan!"

Saat ini, saya tidak sedang ingin merusak mood "kumat rajin" yang bertengger. Biarkan sebentar ia bersarang agar saya paham untuk menyelesaikan prioritas pada batas waktu yang telah ditentukan. Saya takut merusak mood itu lagi dengan membuang waktu percuma. Doakan agar semua pekerjaan saya cepat selesai, kawan. More...

Author: Ummul Khairi
•Tuesday, April 05, 2011


It's not about how long your hair. It's about the simpleness dreaming coming true in your life. It's not about how many lantern flying on the night sky and it's not something hard for reach it. No, not at all. It's something different way. Even i can't see on the dark, but i can see your coming with the simple happiness you'll share for me, for us then.

What if it's not everything i dream that would be? More...

So?
Author: Ummul Khairi
•Friday, April 01, 2011

Tiga belas maret lalu, Andrea Hirata kembali menemui public setelah hiatus 2 tahun lamanya. Sedikit excited juga ketika ia memilih Aceh sebagai permulaan pemunculannya kembali. Fakultas FKIP Unsyiah menjadi sasaran. Saya tak pikir panjang. Saya harus ikut Meet And Greet ini, whatever it takes! Peserta yang ikut juga melebihi kapasitas kursi yang tersedia, hingga membuat panitia terpaksa menolak antrian yang membludak. Saya termasuk beruntung, karena jika terlambat sedikit saja, sudah bisa dipastikan saya tidak dapat mengikuti acara tersebut. Beberapa orang penggemar Andrea banyak yang memuji dan mengeluh tentang karya-karyanya. Pertanyaan klasik yang terus ditanyakan padanya tak lain tentang ke-orisinilan tokoh-tokoh dalam tetralogi Laskar Pelangi juga dwilogi Padang Bulan. Saya yakin, si Ikal sedikit enggan menjawab pertanyaan dengan frekuensi berkala seperti ini. Pertama, terlihat dari jawabannya. “I have no obligation to tell you this is truth or not. Itulah kenapa saya selalu membuat awalan pengantar di cover depan “Sebuah Novel…” dan saya membutuhkan riset 4 tahun untuk sebuah kultur budaya dengan lebih dari 200 responden. Lalu, apakah kalian masih mempertanyakan ke-orisinilan dari karya-karya saya?”.


Awalnya saya juga ikut mempertanyakan tentang setiap kalimat yang ia torehkan dalam karya-karyanya dan benar-benar terpukau tentang science serta hitung-hitungan yang di akumulasikan dalam konsep-konsep sederhana sebuah cerita. Pembaca benar-benar diajak dalam dimensi fiksi-sains, tapi tetap mengedepankan alur yang humanis. Alasan kedua, dari matanya. Mata seseorang tidak pernah berbohong, kawan.

Seminggu setelah acara tersebut berlangsung, tepat tanggal 26 maret, Telkomsel Kompasiana Blogshop mengadakan workshop kepenulisan. Setiap daerah akan mendapat giliran tur untuk mengikuti workshop ini secara gratis. Sebenarnya, acara-acara seperti ini akan membahas tema yang sama, judul serta teknik-teknik kepenulisan yang tidak jauh berbeda dari yang sudah pernah saya dapatkan. Dari awal niat saya mengikuti acara ini hanya melengkapi pengetahuan yang sudah ada dan menjaga semangat untuk tetap menulis. Bonusnya, saya bisa bertemu dengan beberapa orang yang tulisannya sering saya baca di media lokal dan nasional, juga penulis buku-buku antologi. Setidaknya saya sudah pernah bertemu langsung dengan beberapa orang yang hanya saya kenal di blog dan jejaring sosial, seperti yang ini. Mata saya benar-benar terbuka pada sesi kedua workshop yang diadakan di The Pade hotel ini. Sebenarnya orang-orang yang menulis di media apapun adalah orang yang biasa-biasa saja, bukan? Seorang yang tidak dianggap sekalipun oleh dunia bisa menjadi orang hebat dalam sekejab mata jika ia bisa berbagi cerita dan menulisakan cerita tersebut untuk banyak orang.

Saat itu saya kembali berpikir. Apakah saya harus tetap menulis? Kenapa saya harus menulis secara berkala? Mengapa harus di media massa? Atau, kenapa saya nge-blog? Wacana seperti ini sudah lama menguap di kepala namun belum disalurkan dengan baik. Syukur saya masih ingat. Kawan, kadang dalam hidup kita selalu bertanya mengapa dan kenapa tanpa pernah tau jawaban tepatnya. Sesekali kita mendapat jawaban untuk sebuah alasan namun tidak sedikit pula semua pertanyaan tersebut tidak memiliki jawaban. Setidaknya kita pernah menanyakan tentang kenisbian suatu hal. Semuanya hanya untuk membuat kerangka berpikir kita dapat me-manage dengan baik setiap input dan output yang bersarang di kepala.

Saya yakin, setiap orang punya jawaban masing-masing kenapa harus menulis dan menyajikannya untuk dibaca oleh orang banyak. Sebagian lagi berpendapat, apa yang harus dibagi adalah sesuatu yang layak untuk diceritakan. Atau, banyak juga yang berpendapat untuk menuliskan sesuatu di media massa sekalipun isinya sampah! Semua punya jawaban dan alasan masing-masing.

Kenapa nge-blog? Saya juga tak begitu paham kenapa harus menulis sesuatu untuk disajikan dalam nampan indah bernama internet. Tidak muluk-muluk, pertama saya ingin konsisten dalam menulis. Bagaimana cara mendapatkan kekonsistenan itu? Saya butuh feel untuk merasakan kekonsistenan dalam tiap jemari ketika bercerita. Apakah saya sudah mendapatkannya? Ya (semoga) sudah. Buktinya saya tidak mau meninggalkan blog ini. Itulah mengapa saya pernah mengatakan izin sebentar untuk berjauhan dengan blog. Kenapa? Karena saya tidak ingin berpisah dengannya. Saya harus jujur, kegiatan menulis berkala ini sudah mendapat tempat dalam hidup. Dan, sebenarnya ketika kita minta izin untuk hiatus sebentar, sebenarnya kita meminta izin pada diri sendiri untuk sebentar saja berjauhan dari rutinitas ini dan berjanji untuk kembali pada masa yang tepat. See? Simple kan?

Jika ada yang menghargai setiap tulisan yang saya tulis, saya sangat menaruh apresiasi besar pada orang-orang tersebut. Kawan, apa yang lebih indah selain dihargai dan mendapatkan tempat tersendiri melalui tulisan-tulisan kita di hati banyak orang. Jika ada orang-orang yang ikut terpengaruh dan bisa mengubah satu episode dalam kehidupan seseorang, saya melangitkan syukur pada Tuhan Segala Kuasa. Itulah mengapa setiap tulisan yang kita sajikan pada massa tidak boleh asal. Karena kita tidak pernah tau, pada bagian kalimat mana orang-orang di sekitar ikut terpengaruh.

Satu hal lagi. Kenapa harus menulis untuk membaginya pada orang lain? Untuk sendiri saja belum cukup! Coba baca sejarah tentang berdirinya bangsa Yahudi. Ada satu nama yang paling berpengaruh untuk mendirikan sistem pemerintahan tersebut di tahun 1901 yaitu Theodor Herzl. Apa yang ia lakukan? Ia hanya menulis sebuah buku. Buku yang berjudul Der Judenstaat menjadikan Herzl sebagai pemimpin kongres zionis dunia pertama untuk selanjutnya mendirikan kekuasaan atas konsep zionis. Sekarang coba lihat, betapa kuat pengaruh Yahudi untuk dunia, hanya dari pemikiran seseorang yang ia tuangkan dalam sebuah buku. Bayangkan jika hanya pemikiran saja yang tidak pernah dipublikasikan, mungkin akan sama nasibnya seperti seorang sekaliber Leonardo Da Vinci. Mungkin kita lebih mengenal Da Vinci dengan lukisan monalisanya namun sebenarnya, ada banyak pemikiran-pemikiran bahkan sketsa-sketsa kapal-kapal dan pesawat yang ia rancang sendiri tapi tidak pernah ia coba realisasikan dalam bentuk nyata. Hanya berupa sketsa dan pemikiran dalam wadah kertas. Itulah mengapa Michael Hart tidak menempatkan Da Vinci dalam 100 orang paling berpengaruh di dunia. Begitu juga dengan Al-Quran. Mungkin jika Usman Ibn Affan tidak pernah mengusulkan kepada Abu Bakar untuk menyatukan kumpulan Al-Quran dalam bentuk mushaf, mungkin umat muslim tidak bisa membaca Al-Quran hingga hari ini. Usman tidak hanya merealisasikan pemikiran dengan idenya tapi juga menyatukannya dalam mushaf agar umat muslim lebih mudah membaca dan menghafalnya. Karena Usman tau, kepala seseorang tidak dapat menampung segala hal. Kepala manusia terbatas. Meskipun ada banyak penghafal Al-Quran tapi pada waktunya mereka juga kembali pada Tuhan.

Kedua, saya ingin setiap pemikiran yang saya tulis, bisa dibaca oleh anak-anak saya kelak atau bahkan saat mereka memiliki cucu dan cicit. Ide bisa hilang jika tidak disalurkan. Buku bisa rusak dimakan rayap. Seseorang bisa lupa dengan orang lain, tapi sebuah tulisan tidak akan lekang dimakan usia. Sekalipun kita sudah mati. Saya, kita, kalian dan kamu hanyalah orang yang biasa, namun bisa menjadi luar biasa dengan sedikit saja rasa berbagi. Mungkin saya tidak punya pengaruh apa-apa untuk dunia tapi dengan sebuah tulisan, saya menjadi bagian dari dunia untuk terus hidup. So? Tidak ada yang harus kita tunggu untuk memulai sesuatu selain mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil dan mulai dari sekarang!*


*kalimat penggugah milik Aa' Gym
More...