Salam..
Tempo hari saya berjalan di sebuah jalan yang cukup lebar. Tidak terlalu banyak kendaraan yang lewat, meski cukup bising. Mata saya tertuju pada sebuah rumah sederhana. Tamannya begitu luas, hingga saya bisa melihat matahari tenggelam kesukaan saya. Disana, semua rumput segar yang berwarna hijau tidak mengganggu jalan setapak menuju taman yang diberi nama 'Rumah Tinggal Selamanya'.
Pikiran saya kembali terbentang pada 3 tahun silam. Ketika saya memutuskan untuk tinggal disini lebih lama. Ternyata waktu begitu cepat berganti hingga 3 tahun itu punya banyak sekali kenangan yang sangat sulit dilupakan. Disini, saya begitu banyak mendapatkan cinta dan rasa. Banyak yang menemani. Banyak yang mengisi. Banyak yang datang. Begitu banyak pula yang pergi. Termasuk saya. Saya memutuskan untuk tidak tinggal disini lebih lama. Apakah terlihat begitu gegabah? mungkin iya jika hanya 'dilihat' tapi rasa tidak seperti yang 'dilihat', karena rasa menggunakan hati untuk 'melihat'.
Saya akan pulang kerumah baru. Untuk selamanya. Sebuah tempat hidup penuh kebahagiaan bersama orang-orang yang saya cintai, selamanya :)
Ketika kita ingin semua berakhir dalam gerakan yang lambat.
Ketika kita ingin duduk sejenak menyantap manisan dalam waktu yang semakin cepat.
karena aku tak bisa menunggu lama, setelah kamis siang nanti.
More...
Aku bertanya, "Bisa tahu bedanya yang mendengar sepenuh hati dan enggak, gimana caranya, Yah?"
"Kalau lawan bicaramu mendengar dengan sepenuh hati, beban pikiranmu menjadi ringan. Kalau kamu malah tambah ruwet, meski yang mendengar tadi seolah serius mendengar, berarti dia tidak benar-benar hadir untukmu," jawab Ayah.
More...
Pagi dingin. Tapi tidak untuk orang-orang yang cekatan mengeluarkan balok mesin-mesin tua. Mereka gegas memburu waktu. Berkejaran dengan selimut kabut dari Tangan Tak Tampak. Menghalau rintik air yang turun perlahan dari langit. Di luar terlalu bising. Mereka tidak memberi kesempatan padaku untuk sedikit saja mengejamu. Setidaknya, biarkan aku meresapimu dalam-dalam hingga ke titik nadir.
Kau dan hujan yang bersahutan diseberang sana. Kau dan diammu. Kau dan abdimu. Aku dan sendiriku. Aku dan caraku menyimpanmu rapat.
Dalam rintihan langit dan kapas hitam yang menggumpal, ada sembilu yang ingin ku cerca. Ada sekat yang ingin segera kulepas. Ada belikat yang terus menggrogoti hingga ke sumsum. Ada rasa yang ingin diungkap. Namun bodohnya, aku tak tau dengan cara apa. Seperti bayi yang baru lahir. Bersahut-sahutan suara tangis yang ingin diperdengarkan pada orang tuanya. Bahwa aku lapar, bahwa aku dahaga. Aku seperti orang bisu yang tiba-tiba bisa berbicara. Tak tau harus memulai kata apa, karena begitu banyak kalimat yang ingin keluar. Seperti bom molotov yang siap meledak. Meletup-letup tak beraturan. Menelisik, menggerus, mengganda, meneriaki.
Aku seperti si tuli yang mendapat titah untuk mendengar kembali. Ingin mendengar semua hal. Tapi disaat yang sama butuh filter untuk menyaring suara-suara yang datang. Bahkan mendengar desauan angin pun seperti sia-sia.
Aku seperti ingin terbang segera setelah mendapat sayap. Namun lagi-lagi tak tau harus kemana, sedang aku ingin pergi ke banyak tempat. Aku seperti jutawan baru yang mendapat harta karun berharga. Tak tau harus membelanjakan uang kemana.
Bahwa aku punya milyaran kata cinta terindah, namun tak mampu kuucap se-milyaran itu. Karena terlalu bahagia. Akhirnya hanya bening-bening kecil yang akan pecah. Batapa aku tak bisa mengungkap sepatah katapun ketika mendapatnya. Segala yang masih klimaks, hingga tak sepenuhnya tatanan itu terkumpul lengkap.
Lihatlah kini. Tuhan telah menjamah tiap relung hati. Aku hanya punya satu sikap yang ingin kutunjukkan pada Tuhan betapa aku menyayangiNya, sekaligus merasa tak pantas mendapat kasih sayangNya. Betapa aku terlalu sombong untuk bersikap sederhana. Betapa aku terlalu ceroboh untuk tidak gegabah. Betapa aku terlalu munafik untuk sekedar berkata cinta. Untuk sekedar menunjukan cinta.
Saat tidak ada yang paling rendah selain sujud kepalaku dibawah KakiMu Yang Maha Agung seraya berucap “Aku ingin memelukmu. Tak sekalipun kulepas lagi”. Lalu kemudian aku kasmaran. Hanyut antara aku dan Tuhan. Hanya berdua saja.
Lihatlah madu manis itu. Dengarlah angin syurga itu. Tuhan punya jawaban sendiri. “Kemari duhai hambaku…apa yang membuatmu sakit? Bagian mana yang sakit itu? Mari kuobati. Masihkah sakit hambaku? Datang padaku, biar ku obati hingga engkau sembuh”.
Kawan, apa yang bisa kujelaskan pada bagian ini selain cinta yang berlipat-lipat.
More...Dan, aku masih disini,
Mencintaimu.
Entah kenapa.
Sebagian orang, ada yang percaya karma dan tidak. Saya termasuk orang yang tidak mempercayainya. Namun saya percaya, bahwa satu hal yang saya lakukan hari ini akan berdampak di kemudian hari. Terlepas dampak itu positif atau negatif. Dalam keyakinan yang saya anut juga mengatakan hal serupa. Bahwa setiap sikap, tutur kata, kemunafikan, kesombongan akan dibalas walau seberat zarrah (atom) pun. Sila buka Az-Zalzalah: 7-8.
Merujuk pada teori Butterfly Effect atau Efek Kupu-Kupu yang menyatakan bahwa Efek tersebut merupakan sistem yang ketergantungannya sangat peka terhadap kondisi awal. Hanya sedikit perubahan pada kondisi awal, dapat mengubah secara drastis kelakuan sistem pada jangka panjang. Seorang berkebangsaan Amerika menyelesaikan 12 persamaan diferensial non-linear dengan bantuan komputer. Pada awalnya dia mencetak hasil perhitungannya di atas sehelai kertas dengan format enam angka di belakang koma (...,506127). Kemudian, untuk menghemat waktu dan kertas, ia memasukkan hanya tiga angka di belakang koma (...,506) dan cetakan berikutnya diulangi pada kertas sama yang sudah berisi hasil cetakan tadi. Sejam kemudian, ia dikagetkan dengan hasil yang sangat berbeda dengan yang diharapkan. Lelaki yang bernama Edward Norton Lorenz berlatar belakang Matematika dan Meterologi ini mendapatkan hasil seperti ini.
Tadinya saya pikir Lorenz melambangkan kupu-kupu dalam teorinya karena kecintaannya pada makhluk bersayap dua ini. Ternyata jika dilihat lebih lanjut, hasil perhitungan yang ia cetak dalam grafik tersebut mirip dengan kupu-kupu. Entahlah. Saya tidak tau persis. Tapi jika dilihat lebih detil lagi, setiap titik-titik yang membentuk 2 kepakan sayap tersebut seperti membentuk 2 ruas lingkaran yang pada setiap titik berada pada titik yang serupa dalam jarak yang berbeda. Seperti kita berada di sebuah waktu A1 dan akan kembali pada waktu A2 pada jarak A2-A1. Mungkin Butterfly Effect ini juga bisa menjadi acuan pada kondisi Deja-Vu. Ada yang tertarik menganalisanya?
Dalam buku The Secret juga mengatakan bahwa apa yang kita pikir dan rasa, frekuensi dan gelombang pikiran dan rasa tersebut akan melibatkan alam semesta dan alam semesta akan bereaksi balik pada frekuensi dan gelombang yang kita kirim. Sebagai contoh, jika kita memikirkan sesuatu yang membuat marah maka kita akan marah. Karena alam bereaksi terhadap gelombang pikiran tersebut. Sebaliknya, jika kita berpikir positif, maka keadaan akan berlaku positif. Ada baiknya pula mengimbangi bacaan kita dengan Quantum Ikhlas dan Law of Attractionnya milik Erbe Sentanu.
Saya ingin mengatakan seperti ini. Mungkin hidup kita sekarang diibaratkan seperti ratusan angka dibelakang koma. Kita bahkan nyaris tidak peduli. Karena angka-angka tersebut akan berdampak dalam jangka waktu yang panjang. Tidak sekarang, tidak nanti tapi esok. Suatu hari. Pasti! Jadi, tidak ada alasan untuk menunda sebuah kebaikan dan capaian, sekalipun dalam sebuah kertas.
*Dan kawan, ternyata menulis itu juga angka-angka dibelakang koma. Kita tidak tau efeknya hari ini, tapi nanti. Pasti!
More...