Pembuka November bernama hujan. Kanal-kanal selokan dibanjiri bongkahan air dari langit. Dua tiga manusia berpayung angin. Sesekali gerbang sebelah rumah berdecit. Berderet-deret balok bermesin dikeluarkan demi melindungi anak-anak seragam merah putih. Lalu satu persatu mesin-mesin melaju cepat. Ah, mereka berburu waktu yang bergegas pergi. Miniatur dunia seakan melambat. Karena segala kemunafikan telah ditampik dinginnya yang menggigit. Jika malam beranjak tidur, ada saja makian mengawali hari. Beberapa anak manusia meracau mengutuknya. Mereka terpaksa membenamkan tubuh dalam selimut tebal atau hanya sekedar menyayangkan tapak melangkah keluar tempurung masing-masing.
Di sudut sana, banyak katak riang. Daun menasbihkan cinta. Ilalang menuai rindu angin. Mawar bercumbu embun. Ikan keciprak gesit. Mereka telah mendefinisi hujan. Mereka tunduk.Tak angkuh pada Baginda Raja Segala.
Pada satu jendela usang. Bertisikan jeruji padat. Berpendar dalam balutan siluet. Ia mencinta pagi dan hujan, tapi tak kebal dingin. Jika saja keheningan ini tak berhenti. Tak ada lagi segala kemunafikan. Segala dosa telah di endapkan Baginda Raja Segala dengan sempurna. Semua kepala gila dimatikan. Tautan dendam angkara murka beku serta merta.
Ada pagi masih berbinar mengerling manja. Ada kubah-kubah karisma menatap ke bawah. Ada tembok-tembok raksasa pelindung baja tak buta suasana. Putih. Sejauh ini hanya putih saja. Ada manusia dalam perut Baiturrahim. Tak banyak. Hanya segelintir saja. Ada Dhuha disana. Mereka tengah faqir pada Baginda Raja Segala penuh air mata, dan hujan kembali menghapus segala durja.
Pagi hari.Rumah.Sendiri.Hujan
•Tuesday, November 02, 2010
This entry was posted on Tuesday, November 02, 2010 and is filed under
Gallery
,
Mozaik
. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
2 comments:
menarik diskripsinya ayi...
Terima kasih. Masih belajar, bang ibnu ^___^b